Bintang yang Hilang (Sebelum musim panas #8)

by - 12.25

Delapan Hari Sebelum Musim Panas
Sudah hampir beberapa bulan aku menempuh study di kampus ku ini, tapi kehidupan sosial dan pribadiku selalu saja menjadi yang paling tidak menyenangkan. Aku tidak bisa menjadi orang lain yang mudah mendapatkan teman berstatus sosial tinggi di lingkungan kampus. Ataupun tidak bisa dengan mudah masuk kedalam komunitas dan unit kegiatan mahasiswa yang popular disini. Untuk unit kegiatan mahasiswa yang sering diminati anak perempuan dan mudah ditolak jika tidak sesuai kriteria yaitu theater, cheerleader, dan Pavia Choir (salah satu paduan suara terbaik yang ada di universitas pavia). Melainkan untuk anak laki-laki, yang terbaik adalah basketball, Musicpav (komunitas Pavia Music), dan softball. Mengingat komunitas softball aku jadi ingat anak laki-laki itu, yang memberiku minuman dingin di sore menjelang senja kemarin.
"Defining Politics Approach, agatta aku muak" aku membalikan buku keatas kepalaku. Sudah tiga jam lamanya aku berada diperpustakaan untuk menghafalkan tulisan berbahasa inggris ini. karena dua jam nanti akan ada kuis tentang mata kuliah pengantar ilmu politik dikelas ku. Sebentar lagi adalah liburan musim panas, dan kalian tahu ujian tengah semester sudah didepan mata, tapi lihat aku tidak konsen dan sudah muak mempelajari buku cetak berbahasa inggris dan tata Bahasa khas italia yang kadang sulit aku mengerti.
Agatta yang dengan tenang menghafal semua bab bab penting yang akan diprediksi akan keluar pada sepuluh pertanyaan kuis yang akan diberikan oleh dosen tercinta kami Mr. Matthew. Dia pun mengacuhkan ku sedari tadi. Ya aku sangat bosan. Aku pun menghibur diriku untuk berjalan jalan sebentar daripada harus duduk diperpustakaan setelah berjam jam lamanya, tentu tanpa sepengetahuan agatta yang tidak bisa diganggu dari bahan bacaannya.
Kaki ku menginjak koridor kampus ini. Kupandangi mereka mahasiswa universitas pavia yang sedang asik mengobrol dengan temannya dikoridor, adapula yang sedang duduk berdua layaknya sepasang kekasih, dan dari pemandangan koridor lantai tiga ini juga terlihat club sepakbola sedang bermain untuk latihan lomba sepertinya dilapangan tempat aku biasa berlatih marching band. Aku menghirup udara segar ini dengan memejamkan mata sejanak. Saat kubalikan badan ku tepat kearah ruang kelas politica due aku melihat anak laki-laki itu, iya dia yang menemuiku kemarin sore. Langkah kaki ku pun berhenti saat ingin menghampirinya. Dia bersama seorang gadis yang tidak hanya aku yang kenal, semua mahasiswa disini tahu dia. Rosetta adalah kapten cheers yang memimpin club cheerleader, dia cantik dan menawan. tampaknya mereka dekat. Anak laki-laki itu tersenyum saat bersamanya.
"ciao!!" gadis nakal mengagetkanku. Lara mebuyarkan pandanganku terhadap mereka, rosetta dan anak laki laki itu.
"rosetta cantik ya" lara mengikuti arah pandanganku
"iya"
"aku ingin berteman dengannya, tapi aku malah berteman denganmu" gadis nakal ini mengejek ku. Jelas jika dibandingkan, aku hanya dua persen dari seratus persen yang dimiliki rosetta.
"dia juga pemain softball yang hebat" kali ini lara membahas tentang anak laki-laki itu.
"dia baik" jawab ku
"iya, hanya dia yang paling ramah diantara mahasiswa sepertinya terhadap kita, yang tidak terlihat"
"maksudmu?"
"siapa yang tahu kita ada? Kita tidak sepopuler mereka" ungkapan lara membuat ku bergumam. Tidak pantas aku menghampiri dan mencari tahu siapa anak laki-laki itu, karena status sosial kita berbeda jauh.
"sebaiknya ayo kita masuk kelas, aku membuat dua helai roti untukmu" lara menggandeng tanganku menuju kelas politica cinque melewati mereka anak laki-laki itu dan rosetta. Mereka tanpak sedang asik pada dunia mereka sehingga tidak melihat kearah kami yang sudah memperhatikan mereka sejak tadi.
*****
Mr. Matthew sudah membagikan dua lembar kertas berisi soal dan lembar jawaban. Bagaimanapun hasil belajarku diperpustakaan hanya sebagian kecil yang aku ingat. Aku menyenggol pergelangan tangan agatta yang duduk tepat di sebelahku, memberi kode untuk saling membantu menjawab sepuluh pertanyaan kejam ini. Agatta hanya menganggukan kepalanya menandakan persetujuan untuk mebantuku, yeay.
"tokk tokk tokk..."suara pintu kelas berdecit kencang, seseorang sudah membuka perlahan demi perlahan pintu kelas yang bangunannya bergaya eropa ini. Kesunyian yang sudah berjalan tiga puluh menit kini berpaling pada seseorang yang baru saja memunculkan dirinya akibat kesiangan, dia terlambat. Anak laki-laki itu berada dikelasku. Bagaimanapun, aku menjadi lebih semangat, entah mengapa. Apakah karena anak laki-laki itu?
Negosiasi antara anak laki-laki itu dengan Mr. Matthew dimenangkan oleh anak laki-laki itu. Dia diperbolehkan untuk duduk dan mengikuti kuis. Saat dia berjalan menuju mejanya mata kami bertemu, anak laki-laki itu tampak diam sejenak sambil memandang ku dan melambaikan tangan kearahku lalu berbicara Bahasa isyarat yang kubaca dari mulut tanpa suara yang ia ucapkan 'hai kita bertemu lagi'. Aku membalaskan dengan anggukan kepala dan senyum tipis yang aku tunjukan. Bagaimanapun, dia mengingatku. Pertemua sore yang lalu, yang hanya berjalan beberapa menit saja.
Setelah kuis berakhir siswa dikelasku pun berhamburan keluar ruangan. Tetapi aku masih bertindak bodoh di tempat dudukku, aku menepukan kepalaku beberapa kali 'ah yatuhan aku harus bagaimana, dia ada dikelasku' dengan cepat lara langsung menghampiriku sambil berbisik "bagaimana bisa dia menyapa mu hei?!" aku yang hanya menggelengkan kepalaku sambil menutup mataku dengan kedua tanganku, ah memusingkan.
"hester kau ikut tidak?" seorang anak laki-laki yang pernah aku lihat, ya pemain softball dia berbicara terhadap anak laki-laki itu dari bilik pintu kelas. Ternyata namanya hester.
Anak laki-laki bernama hester itu menghampiri sumber suara dan melewatiku begitu saja. Dia berbisik pelan dengan temannya itu lalu mereka pergi menghilang dari bilik pintu kelas.
***
Siang ini aku mulai berlatih marching band bersama teman teman lainnya, tidak jauh dari kami terlihat para pemain softball itu berlatih.
Saat pemain softball istirahat kini anggota marching band mulai menunjukan aksinya ditengah lapangan, aku malu aku gugup mereka memperhatikan kami. Setelah penampilan kami selesai mereka memberi tepukan pada kami, lega sekali. Tapi aku tidak melihat anak laki-laki itu. Dimana hester? Dia tidak berlatih.
Aku merasa kecewa. Dia tidak melihat aku berlatih ditengah lapangan.
Saat pulang aku tidak bersama om alex, karena om alex pergi mengantar nenekku ke rumah sakit untuk cek kesehatan. Aku memutuskan untuk berjalan kaki. Aku berjalan disepanjang gang tua bergaya eropa ini sepi hanya beberapa orang yang melewatinya. Disana terdapat kafe coffee dan penjual koran. Bahkan ada pula nenek nenek yang selalu menyirami tanaman dan bunganya lalu tersenyum kearahku, aku pun membalas senyum kearahnya.
Kini aku merewati jalanan tua dibawah jembatan. Nampak orang orang sudah sibuk pada kesibukannya sendiri sendiri, hanya aku saja yang lewat jalan ini. Didepanku ada seorang nenek tua yang tampaknya kehilangan apel yang ia bawa dari wadahnya. Apel apel itu Nampak bertebaran disekitar jalan, aku pun membantu nenek tua itu karena cukup banyak sekali apel yang berserakan.
"trimakasih nak" ucap wanita tua itu sambil tersenyum kepadaku
"sama sama nek, bagaimana bisa apel apelmu berserakan di jalanan?" tanyaku
"sepertinya wadah ini tidak bisa menampung apel yang terlalu banyak ku beli" nenek itu tertawa sambil kesulitan membawa apel yang sudah terkumpul di dekapan tangannya
"biar pakai totebag aku saja untuk menggantikan wadah yang sudah robek ini nek"
"apakah tidak apa apa? Bagaimana dengan isinya?"
"tenang saja nek, lagipula ransel ku masih bisa menampungnya, jadi biar isi dalam totebag ini aku pindahkan saja kedalam ransel ku, hanya kotak makan dan botol minum saja"
"baiklah, trimakasih banyak ya nak, kau sangat baik" nenek itu menerima tawaranku untuk membantunya. Aku meminjamkan totebag milikku kepada nenek itu untuk menaruh apel apel nya. Kami pun berpisah dipersimpangan jalan. Aku yang tiba tiba terpukau melihat bunga viola bermekaran di persimpangan jalan, aku tergoda menghampirinya karena bunga itu sangat cantik.
Aku pun melanjuti perjalananku untuk pulang. Waktu telah menunjukan suasana malam hari. Tetapi tidak jauh aku melewati sebuah toko roti tua yang masih buka dan terang. Tampak samar samar aku melihat anak laki laki itu, hester. Dia ada ditoko itu memakai pakaian layak pelayan disana. Dia selalu tersenyum, dia terenyum pada pelanggan disana sambil menodorkan sebungkus roti kepada pelanggan itu. Tapi apakah itu benar hester? Aku pun penasaran dan mencoba untuk mengunjungi toko roti itu.
"selamat malam ada yang bisa kami bantu?" pelayan roti itu tampak kaget setelah melihat wajahku, ya dia benar hester, dia tampak senang sekali melihatku datang ketokonya.
"hai kau! Senang sekali malam ini melihatmu, kenapa kau sendirian? Apakah tidak dijemput?" bagaimana dia tahu kalau aku selalu dijemput oleh om alex?! Pertanyaan bertubi tubi yang dia tanyakan mengundang seorang wanita tua keluar dari pintu dapur.
"ada apa hester? Oh yaampun kamu gadis baik itu, akhirnya kita bertemu lagi, silahkan duduk dulu, kamu mau roti apa dan minuman apa? Biar nenek berikan gratis untukmu" wanita tua itu adalah nenek yang aku bantu dipersimpangan jalan saat apel-apel itu terlepas dari wadahnya.
"bagaimana nenek bisa kenal dia? Dia teman ku dikampus nek" ucap hester bingung
"tadi gadis cantik ini membantu nenek dijalan, dia meminjamkan totebagnya untuk menaruh apel yang barusan kamu makan, dia baik sekali" nenek itu kembali membawa sebuah roti dengan choco chips diatasnya.
"makanlah, jangan sungkan" nenek itu mempersilahkan aku untuk mencicipi roti di toko ini
"ini adalah toko milik nenek, semua roti disini nenek yang membuatnya, tentu saja dibantu dengan cucu nenek ini, hester. Nenek tidak punya siapa-siapa disini kecuali hester. Ayah hester adalah orang amerika dan sekarang dia tinggal di amerika bersama dengan keluarga barunya, dan ibu nya hester sudah meninggal sejak hester berusia sebelas tahun. Nenek harap hester dikampusnya tidak menjadi anak yang menyusahkan bagimu ya" jelas nenek, aku terkejut mendengar perkataan nenek, hester adalah orang yang sangat popular di kampus tetapi sisi lain diluar kampus hester adalah seorang anak yang sederhana, dia tidak malu memakai baju pelayan di toko milik neneknya, tidak seperti anak populer lainnya yang pasti tidak mau memakai pakaian pelayan bahkan menjaga toko karena takut ketauan mahasiswa sepertiku ini.
"kau belum menjawab pertanyaanku!" hester nampak membuat mimik wajah ingin tahunya sambil menyilangkan kedua tangannya.
"om alex tidak bisa menjemputku karena mengantar nenekku, jadi aku memutuskan untuk pulang sendiri dengan berjalan kaki" jelasku terhadap hester
"bagaimana latihan mu? Selesai jam berapa hari ini?" tanya nya lagi, aku seperti sedang diintrogasi oleh seorang detektif.
"jam 5 sore" jawabku singkat
"oh sial, sekarang sudah menunjukan pukul 7 malam, bagaimana jika keluargamu khawatir karena kamu tidak kembali kerumah dengan cepat?" dia mencemaskanku, sambil berfikir.
"kau saja yang mengantarkannya hester" ucap nenek kepada hester. Lalu hester langsung membuka serbet pakaian pelayan yang ia kenakan.
"ayo, biar ku antar"
Kami pun keluar dari toko roti milik nenek hester, aku yang membawa barang tambahan yaitu tiga buah roti kismis yang diberikan nenek untuk nenekku dan om alex sudah aku bawa dengan totebag yang dikembalikan oleh nenek nya hester saat meminjan untuk wadah apel.
"maaf ya aku hanya bisa mengantarkanmu dengan sepedaku" hester pun menyuruhku naik ke sepeda nya. Aku hanya mengangguk pelan, sebenarnya aku senang, tidak apa-apa dengan sepeda tua ini asalkan aku bisa berada disebelah hester, seperti saat dilapangan saat senja.
Hester nampak bersungguh-sungguh membawaku pulang tepat waktu, dia menaiki kecepatan goesan tenaganya. Melewati lorong sepi yang diapit dua bangunan tua khas pavia. Orang-orang disini tidak nampak sama sekali, hanya kita berdua saja. Aku memegang erat bahu hester. Angin berhembus sangat cepat, aku memejamkan mataku setelah melewati tepi sungai dengan minimnya cahaya lampu jalan, menghembuskan nafasku perlahan, menikmati kota pavia dimalam hari dengan sepeda dan dengan hester.
Aku menuruni sepeda milik hester setelah kami sudah berhenti didepan bangunan tua ber cat cream ini. Kami sudah sampai, tetapi hester tidak kunjung pergi, aku nampak bingung melihatnya mematung sambil memegangi sepedanya dan tersenyum memperhatikan kearahku.
"sudah masuk sana, aku akan melihatmu, memastikan sampai kau benar-benar masuk" ucapnya menjawab kebingungan ku
Aku hanya tersenyum melihat hester berkata itu, senang sekali rasanya. Entah mengapa.
"trimakasih hester" ucapku kemudian
"aku ingin benar-benar berteman denganmu" hester kembali lagi membuatku kaget. Apakah benar?
"kau bisa hubungi aku jika tidak ada yang menjemputmu, okay? Aku selalu ada ditoko dari petang sampai larut malam" dia melambaikan tangan memberikan salam perpisahan untuk malam ini.
Aku menghempaskan tubuh ini kedalam kebahagiaanku malam ini, dikasur ini aku berguling-guling ke kanan dan kekiri, bagaimana bisa aku sebahagia ini. Berteman dengan hester, bersepeda bersama hester, dan dikhawatirkan oleh hester. Oh tuhan ini bukan mimpi kan? Aku tidak bisa menafsirkan kebahagiaanku sejauh ini. Aku sangat bahagia.

You May Also Like

0 komentar

Selasa, 06 Maret 2018

Bintang yang Hilang (Sebelum musim panas #8)

Diposting oleh Aulia Azhari di 12.25
Delapan Hari Sebelum Musim Panas
Sudah hampir beberapa bulan aku menempuh study di kampus ku ini, tapi kehidupan sosial dan pribadiku selalu saja menjadi yang paling tidak menyenangkan. Aku tidak bisa menjadi orang lain yang mudah mendapatkan teman berstatus sosial tinggi di lingkungan kampus. Ataupun tidak bisa dengan mudah masuk kedalam komunitas dan unit kegiatan mahasiswa yang popular disini. Untuk unit kegiatan mahasiswa yang sering diminati anak perempuan dan mudah ditolak jika tidak sesuai kriteria yaitu theater, cheerleader, dan Pavia Choir (salah satu paduan suara terbaik yang ada di universitas pavia). Melainkan untuk anak laki-laki, yang terbaik adalah basketball, Musicpav (komunitas Pavia Music), dan softball. Mengingat komunitas softball aku jadi ingat anak laki-laki itu, yang memberiku minuman dingin di sore menjelang senja kemarin.
"Defining Politics Approach, agatta aku muak" aku membalikan buku keatas kepalaku. Sudah tiga jam lamanya aku berada diperpustakaan untuk menghafalkan tulisan berbahasa inggris ini. karena dua jam nanti akan ada kuis tentang mata kuliah pengantar ilmu politik dikelas ku. Sebentar lagi adalah liburan musim panas, dan kalian tahu ujian tengah semester sudah didepan mata, tapi lihat aku tidak konsen dan sudah muak mempelajari buku cetak berbahasa inggris dan tata Bahasa khas italia yang kadang sulit aku mengerti.
Agatta yang dengan tenang menghafal semua bab bab penting yang akan diprediksi akan keluar pada sepuluh pertanyaan kuis yang akan diberikan oleh dosen tercinta kami Mr. Matthew. Dia pun mengacuhkan ku sedari tadi. Ya aku sangat bosan. Aku pun menghibur diriku untuk berjalan jalan sebentar daripada harus duduk diperpustakaan setelah berjam jam lamanya, tentu tanpa sepengetahuan agatta yang tidak bisa diganggu dari bahan bacaannya.
Kaki ku menginjak koridor kampus ini. Kupandangi mereka mahasiswa universitas pavia yang sedang asik mengobrol dengan temannya dikoridor, adapula yang sedang duduk berdua layaknya sepasang kekasih, dan dari pemandangan koridor lantai tiga ini juga terlihat club sepakbola sedang bermain untuk latihan lomba sepertinya dilapangan tempat aku biasa berlatih marching band. Aku menghirup udara segar ini dengan memejamkan mata sejanak. Saat kubalikan badan ku tepat kearah ruang kelas politica due aku melihat anak laki-laki itu, iya dia yang menemuiku kemarin sore. Langkah kaki ku pun berhenti saat ingin menghampirinya. Dia bersama seorang gadis yang tidak hanya aku yang kenal, semua mahasiswa disini tahu dia. Rosetta adalah kapten cheers yang memimpin club cheerleader, dia cantik dan menawan. tampaknya mereka dekat. Anak laki-laki itu tersenyum saat bersamanya.
"ciao!!" gadis nakal mengagetkanku. Lara mebuyarkan pandanganku terhadap mereka, rosetta dan anak laki laki itu.
"rosetta cantik ya" lara mengikuti arah pandanganku
"iya"
"aku ingin berteman dengannya, tapi aku malah berteman denganmu" gadis nakal ini mengejek ku. Jelas jika dibandingkan, aku hanya dua persen dari seratus persen yang dimiliki rosetta.
"dia juga pemain softball yang hebat" kali ini lara membahas tentang anak laki-laki itu.
"dia baik" jawab ku
"iya, hanya dia yang paling ramah diantara mahasiswa sepertinya terhadap kita, yang tidak terlihat"
"maksudmu?"
"siapa yang tahu kita ada? Kita tidak sepopuler mereka" ungkapan lara membuat ku bergumam. Tidak pantas aku menghampiri dan mencari tahu siapa anak laki-laki itu, karena status sosial kita berbeda jauh.
"sebaiknya ayo kita masuk kelas, aku membuat dua helai roti untukmu" lara menggandeng tanganku menuju kelas politica cinque melewati mereka anak laki-laki itu dan rosetta. Mereka tanpak sedang asik pada dunia mereka sehingga tidak melihat kearah kami yang sudah memperhatikan mereka sejak tadi.
*****
Mr. Matthew sudah membagikan dua lembar kertas berisi soal dan lembar jawaban. Bagaimanapun hasil belajarku diperpustakaan hanya sebagian kecil yang aku ingat. Aku menyenggol pergelangan tangan agatta yang duduk tepat di sebelahku, memberi kode untuk saling membantu menjawab sepuluh pertanyaan kejam ini. Agatta hanya menganggukan kepalanya menandakan persetujuan untuk mebantuku, yeay.
"tokk tokk tokk..."suara pintu kelas berdecit kencang, seseorang sudah membuka perlahan demi perlahan pintu kelas yang bangunannya bergaya eropa ini. Kesunyian yang sudah berjalan tiga puluh menit kini berpaling pada seseorang yang baru saja memunculkan dirinya akibat kesiangan, dia terlambat. Anak laki-laki itu berada dikelasku. Bagaimanapun, aku menjadi lebih semangat, entah mengapa. Apakah karena anak laki-laki itu?
Negosiasi antara anak laki-laki itu dengan Mr. Matthew dimenangkan oleh anak laki-laki itu. Dia diperbolehkan untuk duduk dan mengikuti kuis. Saat dia berjalan menuju mejanya mata kami bertemu, anak laki-laki itu tampak diam sejenak sambil memandang ku dan melambaikan tangan kearahku lalu berbicara Bahasa isyarat yang kubaca dari mulut tanpa suara yang ia ucapkan 'hai kita bertemu lagi'. Aku membalaskan dengan anggukan kepala dan senyum tipis yang aku tunjukan. Bagaimanapun, dia mengingatku. Pertemua sore yang lalu, yang hanya berjalan beberapa menit saja.
Setelah kuis berakhir siswa dikelasku pun berhamburan keluar ruangan. Tetapi aku masih bertindak bodoh di tempat dudukku, aku menepukan kepalaku beberapa kali 'ah yatuhan aku harus bagaimana, dia ada dikelasku' dengan cepat lara langsung menghampiriku sambil berbisik "bagaimana bisa dia menyapa mu hei?!" aku yang hanya menggelengkan kepalaku sambil menutup mataku dengan kedua tanganku, ah memusingkan.
"hester kau ikut tidak?" seorang anak laki-laki yang pernah aku lihat, ya pemain softball dia berbicara terhadap anak laki-laki itu dari bilik pintu kelas. Ternyata namanya hester.
Anak laki-laki bernama hester itu menghampiri sumber suara dan melewatiku begitu saja. Dia berbisik pelan dengan temannya itu lalu mereka pergi menghilang dari bilik pintu kelas.
***
Siang ini aku mulai berlatih marching band bersama teman teman lainnya, tidak jauh dari kami terlihat para pemain softball itu berlatih.
Saat pemain softball istirahat kini anggota marching band mulai menunjukan aksinya ditengah lapangan, aku malu aku gugup mereka memperhatikan kami. Setelah penampilan kami selesai mereka memberi tepukan pada kami, lega sekali. Tapi aku tidak melihat anak laki-laki itu. Dimana hester? Dia tidak berlatih.
Aku merasa kecewa. Dia tidak melihat aku berlatih ditengah lapangan.
Saat pulang aku tidak bersama om alex, karena om alex pergi mengantar nenekku ke rumah sakit untuk cek kesehatan. Aku memutuskan untuk berjalan kaki. Aku berjalan disepanjang gang tua bergaya eropa ini sepi hanya beberapa orang yang melewatinya. Disana terdapat kafe coffee dan penjual koran. Bahkan ada pula nenek nenek yang selalu menyirami tanaman dan bunganya lalu tersenyum kearahku, aku pun membalas senyum kearahnya.
Kini aku merewati jalanan tua dibawah jembatan. Nampak orang orang sudah sibuk pada kesibukannya sendiri sendiri, hanya aku saja yang lewat jalan ini. Didepanku ada seorang nenek tua yang tampaknya kehilangan apel yang ia bawa dari wadahnya. Apel apel itu Nampak bertebaran disekitar jalan, aku pun membantu nenek tua itu karena cukup banyak sekali apel yang berserakan.
"trimakasih nak" ucap wanita tua itu sambil tersenyum kepadaku
"sama sama nek, bagaimana bisa apel apelmu berserakan di jalanan?" tanyaku
"sepertinya wadah ini tidak bisa menampung apel yang terlalu banyak ku beli" nenek itu tertawa sambil kesulitan membawa apel yang sudah terkumpul di dekapan tangannya
"biar pakai totebag aku saja untuk menggantikan wadah yang sudah robek ini nek"
"apakah tidak apa apa? Bagaimana dengan isinya?"
"tenang saja nek, lagipula ransel ku masih bisa menampungnya, jadi biar isi dalam totebag ini aku pindahkan saja kedalam ransel ku, hanya kotak makan dan botol minum saja"
"baiklah, trimakasih banyak ya nak, kau sangat baik" nenek itu menerima tawaranku untuk membantunya. Aku meminjamkan totebag milikku kepada nenek itu untuk menaruh apel apel nya. Kami pun berpisah dipersimpangan jalan. Aku yang tiba tiba terpukau melihat bunga viola bermekaran di persimpangan jalan, aku tergoda menghampirinya karena bunga itu sangat cantik.
Aku pun melanjuti perjalananku untuk pulang. Waktu telah menunjukan suasana malam hari. Tetapi tidak jauh aku melewati sebuah toko roti tua yang masih buka dan terang. Tampak samar samar aku melihat anak laki laki itu, hester. Dia ada ditoko itu memakai pakaian layak pelayan disana. Dia selalu tersenyum, dia terenyum pada pelanggan disana sambil menodorkan sebungkus roti kepada pelanggan itu. Tapi apakah itu benar hester? Aku pun penasaran dan mencoba untuk mengunjungi toko roti itu.
"selamat malam ada yang bisa kami bantu?" pelayan roti itu tampak kaget setelah melihat wajahku, ya dia benar hester, dia tampak senang sekali melihatku datang ketokonya.
"hai kau! Senang sekali malam ini melihatmu, kenapa kau sendirian? Apakah tidak dijemput?" bagaimana dia tahu kalau aku selalu dijemput oleh om alex?! Pertanyaan bertubi tubi yang dia tanyakan mengundang seorang wanita tua keluar dari pintu dapur.
"ada apa hester? Oh yaampun kamu gadis baik itu, akhirnya kita bertemu lagi, silahkan duduk dulu, kamu mau roti apa dan minuman apa? Biar nenek berikan gratis untukmu" wanita tua itu adalah nenek yang aku bantu dipersimpangan jalan saat apel-apel itu terlepas dari wadahnya.
"bagaimana nenek bisa kenal dia? Dia teman ku dikampus nek" ucap hester bingung
"tadi gadis cantik ini membantu nenek dijalan, dia meminjamkan totebagnya untuk menaruh apel yang barusan kamu makan, dia baik sekali" nenek itu kembali membawa sebuah roti dengan choco chips diatasnya.
"makanlah, jangan sungkan" nenek itu mempersilahkan aku untuk mencicipi roti di toko ini
"ini adalah toko milik nenek, semua roti disini nenek yang membuatnya, tentu saja dibantu dengan cucu nenek ini, hester. Nenek tidak punya siapa-siapa disini kecuali hester. Ayah hester adalah orang amerika dan sekarang dia tinggal di amerika bersama dengan keluarga barunya, dan ibu nya hester sudah meninggal sejak hester berusia sebelas tahun. Nenek harap hester dikampusnya tidak menjadi anak yang menyusahkan bagimu ya" jelas nenek, aku terkejut mendengar perkataan nenek, hester adalah orang yang sangat popular di kampus tetapi sisi lain diluar kampus hester adalah seorang anak yang sederhana, dia tidak malu memakai baju pelayan di toko milik neneknya, tidak seperti anak populer lainnya yang pasti tidak mau memakai pakaian pelayan bahkan menjaga toko karena takut ketauan mahasiswa sepertiku ini.
"kau belum menjawab pertanyaanku!" hester nampak membuat mimik wajah ingin tahunya sambil menyilangkan kedua tangannya.
"om alex tidak bisa menjemputku karena mengantar nenekku, jadi aku memutuskan untuk pulang sendiri dengan berjalan kaki" jelasku terhadap hester
"bagaimana latihan mu? Selesai jam berapa hari ini?" tanya nya lagi, aku seperti sedang diintrogasi oleh seorang detektif.
"jam 5 sore" jawabku singkat
"oh sial, sekarang sudah menunjukan pukul 7 malam, bagaimana jika keluargamu khawatir karena kamu tidak kembali kerumah dengan cepat?" dia mencemaskanku, sambil berfikir.
"kau saja yang mengantarkannya hester" ucap nenek kepada hester. Lalu hester langsung membuka serbet pakaian pelayan yang ia kenakan.
"ayo, biar ku antar"
Kami pun keluar dari toko roti milik nenek hester, aku yang membawa barang tambahan yaitu tiga buah roti kismis yang diberikan nenek untuk nenekku dan om alex sudah aku bawa dengan totebag yang dikembalikan oleh nenek nya hester saat meminjan untuk wadah apel.
"maaf ya aku hanya bisa mengantarkanmu dengan sepedaku" hester pun menyuruhku naik ke sepeda nya. Aku hanya mengangguk pelan, sebenarnya aku senang, tidak apa-apa dengan sepeda tua ini asalkan aku bisa berada disebelah hester, seperti saat dilapangan saat senja.
Hester nampak bersungguh-sungguh membawaku pulang tepat waktu, dia menaiki kecepatan goesan tenaganya. Melewati lorong sepi yang diapit dua bangunan tua khas pavia. Orang-orang disini tidak nampak sama sekali, hanya kita berdua saja. Aku memegang erat bahu hester. Angin berhembus sangat cepat, aku memejamkan mataku setelah melewati tepi sungai dengan minimnya cahaya lampu jalan, menghembuskan nafasku perlahan, menikmati kota pavia dimalam hari dengan sepeda dan dengan hester.
Aku menuruni sepeda milik hester setelah kami sudah berhenti didepan bangunan tua ber cat cream ini. Kami sudah sampai, tetapi hester tidak kunjung pergi, aku nampak bingung melihatnya mematung sambil memegangi sepedanya dan tersenyum memperhatikan kearahku.
"sudah masuk sana, aku akan melihatmu, memastikan sampai kau benar-benar masuk" ucapnya menjawab kebingungan ku
Aku hanya tersenyum melihat hester berkata itu, senang sekali rasanya. Entah mengapa.
"trimakasih hester" ucapku kemudian
"aku ingin benar-benar berteman denganmu" hester kembali lagi membuatku kaget. Apakah benar?
"kau bisa hubungi aku jika tidak ada yang menjemputmu, okay? Aku selalu ada ditoko dari petang sampai larut malam" dia melambaikan tangan memberikan salam perpisahan untuk malam ini.
Aku menghempaskan tubuh ini kedalam kebahagiaanku malam ini, dikasur ini aku berguling-guling ke kanan dan kekiri, bagaimana bisa aku sebahagia ini. Berteman dengan hester, bersepeda bersama hester, dan dikhawatirkan oleh hester. Oh tuhan ini bukan mimpi kan? Aku tidak bisa menafsirkan kebahagiaanku sejauh ini. Aku sangat bahagia.

0 komentar on "Bintang yang Hilang (Sebelum musim panas #8)"

Posting Komentar